Song Review lagi, Song Review lagi.
“Ga ada ide baru buat cerpen atau puisi, ya?”
Iya.
“Tumben pake bahasa Indonesia?”
Iya, karena lagu kali ini lagu bahasa Indonesia. Berhubung Song Review yang ada di Medium ini kebanyakan ngebahas lirik, jadi lebih masuk akal kalau yang ini ditulis dalam bahasa Indonesia.
Sebenarnya agak membingungkan nulis esai kaya gini pakai bahasa Indonesia, karen bingung milih ragam kaya apa. Formal? Semi-formal? Nonformal? Pada akhirnya gua memilih ragam semi-formal karena lagu berikut ini pendengarnya sebagian besar adalah anak muda.
Lagu yang akan dibahas kali ini adalah “Tafsir Mistik” dari band The Panturas. Lagu ini termasuk dalam album Ombak Banyu Asmara yang rilis di tahun 2021.
Kenapa tiba-tiba lagu ini? Alasan utamanya adalah karena dalam beberapa bulan pertama gua mendengarkan lagu ini, gua masih ga paham maksud liriknya tuh apa. Liriknya terkesan mengawang-ngawang, ga bisa ditafsirkan secara konvensional, seolah-olah perlu tafsir yang mistik.
Sangat telat sebenarnya kalau gua baru sadar kalo lirik ini cukup simpel, meskipun menggunakan banyak metafora, setelah beberapa bulan. Di tulisan ini gua akan menceritakan kenapa lirik lagu ini awalnya membingungkan buat gua dan gimana akhirnya gua bisa menafsirkan lagu ini secara “benar”.
Tanda Koma yang Salah Tempat
Kenapa kata benar di paragraf sebelumnya pakai tanda kutip? Ya karena namanya tafsir, ga ada yang benar atau salah. Tulisan ini murni pengalaman pribadi gua soal tafsir-menafsir. Sebuah kegiatan yang lumrah, meskipun tidak menguntungkan, bagi anak sastra.
Berikut ini adalah contoh kutipan lirik lagu “Tafsir Mistik” sebagaimana yang gua denger pertama kali, atau yang kalian dengar juga,
Kau pun berkelana
Di waktu kikuk antara lahir
Dan mati jadikan jagat fana
Mutlak jikalau arwah menafsir
Kalau dibaca sesuai dengan barisnya, mungkin kita akan bingung. Mungkin juga sebenarnya gua doang yang bingung, sih.
Misalnya, “Di waktu kikuk antara lahir”, jeda, terus lanjut ke, “Dan mati jadikan jagat fana”. Reaksi pertama gua saat itu adalah,
“Lah, apaan dah?”
Kadang kita native speaker bahasa Indonesia sering mengabaikan grammar di bahasa kita sendiri karena kita ngomong bahasa Indonesia hampir setiap saat, jadi kelihatannya ga penting. Secara sepintas bagi kita, kalau si pembicara berhenti ngomong sejenak, berarti di situ tanda komanya, padahal di kasus ini ga begitu. Dua baris itu “salah potong” dan kenapa gua harusnya tau itu “salah potong”? Karena konjungsi “dan”.
Kalau dua baris itu digabung tanpa tanda titik atau koma (yang mana emang ga ada, sebenarnya), kata “antara” yang kemudian baru diikuti oleh “… dan …” adalah pasangan idiomatik, yang mengindikasikan bahwa ini adalah satu kalimat yang agar bisa ditafsirkan, harus dibaca secara utuh.
Jadi, lirik yang utuh seharusnya kurang lebih begini,
Kau pun berkelana, di waktu kikuk antara lahir dan mati, jadikan jagat fana mutlak, jikalau arwah menafsir.
Pembelaan sedikit. Memang ini terdengar sangat tolol untuk seorang lulusan sastra, bisa-bisanya hal kaya gini ke-skip, tapi peminatan gua sastra modern, bukan linguistik, jadi harap maklum.
Gua emang anak sastra tapi gua bukan Ivan Lanin, sebaliknya, Ivan Lanin juga bukan anak sastra.
Ditambah lagi, terkadang dalam sebuah lagu, selain lirik yang utuh, pengucapan dan pemotongan kalimat juga bisa penting untuk interpretasi pendengar/pembaca.
Untuk kasus lagu ini, kayanya memang perlu dibaca secara utuh dan ga salah potong.
Jadi Siapa Si “Setan” Ini?
Nah, setelah memastikan bahwa gua harus baca liriknya secara utuh, akhirnya gua pun menuliskan liriknya dengan pemotongan yang “benar”. Lagi-lagi pakai tanda kutip, karena siapalah gua untuk bilang sesuatu salah atau benar.
Dua bait pertama sebenarnya ga terlalu bermasalah soal potong-potongannya,
Wahai setan yang bersembunyi di antara makna dan tak mempan diusir dengan ruqyah. Merasuki bangunan kepala dan mengendap hingga jadi lumrah
Ruang khayal yang telah kau buka beri pembenaran pada dosa-dosa. Manusia yang takabur neraka dan coba ciptakan swanirwana.
Dari lirik di atas bisa gua interpretasikan ada sebuah(?), atau sesosok(?) “setan” yang bersembunyi. Bersembunyi di antara makna dan tak mempan diusir dengan ruqyah. Bersembunyi di sini artinya sosok setan ini kerap ga disadari kehadirannya oleh orang-orang. Selain itu, kata “ruqyah” di bait pertama ini juga bisa mengindikasikan kaitan erat dengan unsur agama tertentu. Meskipun karena judulnya “Tafsir Mistik”, setan di sini juga bisa merujuk ke hantu.
Sosok setan ini tidak disadari kehadirannya karena dia masuk ke kepala dan mengendap hingga jadi lumrah. Dari kalimat itu, dan indikasi unsur agama sebelumnya, bisa diartikan sosok setan ini adalah dosa, atau sosok setan yang menjerumuskan orang ke dalam dosa, sehingga orang yang berdosa ini merasa benar.
Kenapa bisa begitu? Karena lirik berikutnya bilang bahwa sosok setan ini membuka ruang khayal (di dalam kepala) yang membenarkan dosa-dosa (bagi) manusia yang takabur neraka dan coba ciptakan swanirwana. Artinya orang yang takabur alias tidak peduli dengan dosa dan mencoba menciptakan kesenangannya sendiri (swanirwana).
Lalu, apa lagi yang dilakukan si setan tersebut?
Kau pun berkelana, di waktu kikuk antara lahir dan mati, jadikan jagat fana mutlak, jikalau arwah menafsir.
Si setan berkelana di waktu kikuk antara lahir dan mati, artinya ya kehidupan. Tapi kalau mau balik lagi ke unsur religi, kehidupan ini bisa diartikan kehidupan umat manusia sampai kiamat nanti. Setan akan terus hidup untuk menjerumuskan manusia di waktu antara lahir dan mati. Lalu dia menjadikan jagat fana (dunia) ini mutlak, kalau si arwah (manusia) ini menafsir. Manusia yang menafsir sesuai dengan kemauan si setan ini tentunya.
Ini juga salah satu contoh lain soal koma yang salah tempat tadi. Liriknya dinyanyiin dengan sedikit jeda setelah kata “fana”, terus lanjut lagi mulai dengan kata “mutlak”. Padahal, gua rasa lebih masuk akal kalo komanya ada setelah kata “mutlak”, karena si setan menjadikan dunia yang fana (tidak abadi), menjadi mutlak.
Terus berkelana, di ruang kikuk antara lahir dan mati, hingga porak-poranda benak-benak yang sudi menafsir.
Selagi beliau lanjut berkelana di ruang kikuk antara lahir dan mati (dunia), dia juga memporak-porandakan benak-benak (pikiran manusia) yang sudi menafsir. Lagi-lagi, menafsir sesuai kemauan si setan.
Jadi Ini Semua Soal Setan yang Menggoda Manusia untuk Berdosa?
Ga sepenuhnya begitu juga. Karena meski ada kepercayaan mengatakan bahwa setan bermaksud begitu, ga bisa dipungkiri juga kalau manusia sejak awal memang sudah brengsek. Seperti yang dicontohkan di lirik ini,
Oh, saat wahyu Sang Maha Penakluk yang diramalkan jadi mustakim, tunduk pada rayu para makhluk yang kadang benar lantaran musim.
Balik lagi ke unsur religi, wahyu Sang Maha Penakluk (Tuhan) ini sesungguhnya, seharusnya, mustakim. ‘Mustakim” sendiri artinya lurus hati atau jujur. Nah, wahyu-wahyu yang seharusnya lurus ini malah bisa tunduk pada “rayuan” para makhluk yang kadang benar lantaran musim. Siapa makhluk itu? Ya manusia. Manusia memang cuma kadang-kadang benar karena musim. Musim Ramadhan, musim Paskah, misalnya. Tapi bisa juga dikerucutkan lagi ke orang-orang yang di “musim-musim” tertentu sukanya merayu-rayu. Siapa, tuh? Politikus.
Politikus, sebagai manusia yang suka merayu dan kadang benar kalau musim pemilu aja, bikin wahyu Tuhan ini tunduk sama dia. Artinya dia menggunakan wahyu Tuhan untuk rayuan-rayuan musimannya itu.
Duh, udah masuk Juli 2023, mulai anget dan relevan lagi, nih. Daripada makin ke sini malah makin ke sana, lebih baik bahasan yang ini dicukupkan sampai sini saja.
Religi atau Mistik?
Sejauh ini, tafsir soal permistikan ini udah cukup jelas ke arah religi lah ya, setelah pemotongan kalimatnya “dibenerin”. Tapi bait terakhir masih agak sedikit membagongkan buat gua, begini liriknya,
Acap serupa yang kita lawan, dan kau mungkin juga bukan setan.
Tapi apa kabarnya anak hamba yang tak pernah ganggu kehidupan kalian?
Di sini, orang pertama dalam lirik menyebut “kau”, yang berdasarkan lirik sebelumnya itu merujuk ke si setan. Entah setan dalam konsep agama, sebuah metafora, atau hantu. Si “Aku” ini menjelaskan bahwa antara dia dan si setan seringkali melawan hal yang sama atau serupa.
Hal apaan tuh? Kalau merujuk ke religi, lagi-lagi, setan menjerumuskan manusia juga tetep atas izin Tuhan, kan? Artinya setan menurut definisi agama ini juga tidak semerta-merta membenci Tuhan, mereka cuma benci manusia. Lalu siapa lagi makhluk yang benci manusia? Ya, manusia itu sendiri, termasuk si Aku, termasuk kita. Si Aku dan si setan seringkali melawan sosok yang sama, yaitu manusia.
Bisa juga sebenarnya ini tetep setan versus manusia. Tapi berhubung seringkali manusia banyak yang cuma beda tipis sama setan, jadi “lawan” mereka acap serupa.
Nah, tapi setelah itu dia bilang bahwa kau (si setan), mungkin juga bukan “setan”, bingung ga, tuh?
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa dari kemungkinan definisi-definisi “setan” yang ada, setidaknya ada satu definisi yang (mungkin) salah. Mungkin si setan dalam agama ini bukan hantu, atau sebaliknya, mungkin hantu-hantu ini bukan setan dalam konsep agama.
Di akhir, si Aku malah nanya, tapi apa kabarnya anak hamba (manusia) yang tak pernah ganggu kehidupan kalian? Lagi-lagi, kata “kalian” ini bisa merujuk ke dua definisi “setan” tadi. Setan dalam konsep agama Abrahamik, menurut kisahnya, awalnya terganggu karena kehadiran manusia pertama, nabi Adam. Lalu gimana soal keturunan-keturunannya (manusia sekarang) yang sebenarnya ga pernah ganggu si setan tersebut secara langsung?
Sebaliknya, bisa juga sebenarnya ini cuma ngomongin hantu, namanya juga mistik. Karena ga semua manusia bisa komunikasi dengan alam hantu/jin, mungkin bisa dibilang hantu lebih sering “mengganggu” manusia dibanding manusia “mengganggu” hantu. Gua agak ga yakin juga sih, gua perlu denger dari perspektif para hantu juga.
Jadi, apa kesimpulannya? Kesimpulannya ini lagu tentang setan. Setan yang kaya gimana? Nah itu terserah si pendengar. Yang jelas, hal-hal yang dilakukan si setan dalam lagu ini erat kaitannya dengan setan dalam konsep agama Abrahamik.
Tapi untuk band yang nyeleneh seperti The Panturas, sangat wajar juga kalau mereka sengaja (atau emang sama bingungnya) masukin unsur mistik atau hantu sebagai pengecoh. Biar lagunya ga jadi religi-religi amat.
Sekian dan terima kasih, begitulah tafsir gua soal yang mistik-mistik di lagu “Tafsir Mistik”.