Murid Dewi Hestia

Iskandar
7 min readOct 20, 2021

--

“Lihat, semuanya! Gema berhasil menyelesaikan bangunan terbarunya!” teriak seseorang dari kejauhan memanggil semua orang yang mampu menangkap gelombang antusiasmenya.

“Luar biasa. Tak pernah kita lihat susunan seperti ini sebelumnya. Bagaimana bisa kau terpikir untuk membuat bangunan seperti ini, Gema?” tanya seorang wanita di antara kerumunan. Matanya berbinar melihat bangunan Gema seperti hamba yang menggapai nirwana.

Gema hanya tersenyum. Tak menjawab sepatah kata pun, lalu pergi. Orang-orang masih mengerumuni bangunan barunya dengan ribuan kata pujian yang terlontar. Jika kata-kata pujian itu menjadi batu-batu kecil, niscaya bangunan megah Gema akan rubuh pula.

Tak jauh dari situ Sandra terduduk di depan gubuk kayu yang ia sebut rumahnya. Ia melihat ke arah kerumunan dengan ekspresi kosong. Tak lagi ia terkejut dengan situasi seperti itu.

“Indahnya. Apa mereka tidak sadar tangan-tangan mereka akan mengotori bangunan anggun itu?” tanyanya dalam gumaman. Tak ada yang bisa mendengarnya dari situ.

Tak hanya Gema. Gema hanyalah satu dari ribuan pembuat bangunan ulung di negeri ini. Pemandangan seperti ini bisa Sandra lihat setidaknya seminggu dua kali.

Sandra pun kembali masuk ke dalam gubuknya. Gubuk kayu, yang terbuat dari kayu, dan hanya kayu. Lantai, pintu, tembok, atap, kursi, meja, segala hal yang bisa dilihat oleh mata di gubuk itu terbuat oleh kayu. Jendelanya pun hanyalah tembok kayu yang ia lubangi dan ia beri teralis, dengan batang-batang kayu pula.

“Kau sama saja tinggal di sebuah pohon yang kau lubangi!” begitu kata orang-orang saat ia baru menyelesaikan bangunannya itu. Sandra tidak terlalu peduli saat itu. Ia sangat suka kayu.

“Aku tak punya uang untuk membeli bahan-bahan mewah itu. Bata? Marmer? Granit? Dari mana pula aku bisa dapat itu? Jika ada jutaan pohon di dunia ini yang bisa kutebang, untuk apa aku cari yang lain?” kata Sandra pada dirinya sendiri tiap harinya. Terutama saat ketika ada pendatang yang melewati gubuknya dan memberinya tatapan dengan alis mengkerut.

Keesokan harinya Sandra kembali ke hutan, untuk mengumpulkan kayu-kayu yang akan ia gunakan untuk membuat bangunan berikutnya. Setelah menebang beberapa pohon dan memotong beberapa bilah kayu, ia melihat sesorang pria yang menggendong tas karung goni besar hampir seukuran tubuhnya. Ia tatap lekat pria itu selagi ia berjalan mendekatinya. Pria itu ternyata adalah Gema.

“Nona! Apa kau habis menebang pohon-pohon itu?” teriak Gema.
“Iya, kenapa?” balas Sandra.
“Ah, Sandra. Ternyata kau. Kau sedang kumpulkan bahan?”
“Kau bisa lihat sendiri.” jawab Sandra ketus.
“Begitu, ya? Aku juga baru saja mengumpulkan bahan-bahan untuk bangunan baruku berikutnya. Lihat ini.” Gema pun menaruh dan membuka tas karungnya kepada Sandra.

Dari dalam tas itu Sandra dapat melihat batuan-batuan berkilau. Ada yang berwana putih bercorak hitam, ungu mengkilap, dan hitam legam. Sandra berusaha menutupi rasa terkejutnya dan bersikap tenang.

“Aku akan menggunakan ornamen dari batu diorit, amethyst, dan obsidian ini.” kata Gema dengan antusias.
“Dari mana kau dapat itu?” tanya Sandra.
“Tentu saja dari lubang tambang jauh di bawah sana.”
“Bukan. Dari mana kau dapat terpikir untuk menggunakan itu?” Sandra meralat pertanyaannya.
“Ah, tentu saja dari Dewi Hestia!” jawab Gema.
“Dewi Hestia? Siapa itu?” tanya Sandra lagi kini dengan sedikit rasa penasaran yang tak bisa ia bendung.
“Ia adalah dewi rumah dan arsitektur dari negeri jauh di sana. Masa kau tidak tahu?” Gema balik bertanya.
“Kenapa aku harus tahu? Aku lahir dan besar di negeri ini, mana tahu aku soal dewi negeri antah berantah itu.”
“Kau ini bicara apa? Semua pembuat bangunan di seluruh dunia pasti pernah mendapat bimbingan dari Dewi Hestia. Kita ini murid-murid Dewi Hestia. Jangan-jangan kau tidak pernah mendapat ilham dari-Nya sama sekali ya?”
“Te-tentu saja pernah! Tapi aku tidak sejenius dirimu untuk tahu bahwa itu adalah Dewi Hespia.” jawab Sandra dengan ragu-ragu.
“Dewi Hestia.”
“Ah, ya, apalah itu.”
“Baiklah, semoga beruntung untuk bangunanmu yang selanjutnya!” Gema melambaikan tangan sambil tersenyum. Ia pun pergi meninggalkan hutan dan Sandra sendirian.

Setelah kejadian itu Sandra mulai lebih bersemangat untuk mendirikan bangunan barunya. Dengan kumpulan kayu yang ia dapatkan. Ia buat sebuah menara persegi yang menjulang tinggi seperti pohon yang berusia jutaan tahun, hanya saja tanpa daun sama sekali.

“Sandra. Gubuk kayu apa lagi yang kau buat itu, hah?” tanya seorang pria yang lewat di depan bangunan baru milik Sandra itu.
“Ini adalah bangunan baruku. Kau bisa sebut ini menara daripada gubuk, Pak Tua.” jawab Sandra.
“Bukankah kau selama ini juga selalu tinggal di bangunan kayu? Ini hanya tambah tinggi saja.”
“Tidak. Ini adalah pesan yang kudapatkan langsung dari Dewi Hestia! Dewi rumah dan arsitektur dari negeri jauh di sana. Ia berpesan padaku untuk tetap menggunakan kayu sebagai bahan utama agar batu-batu mineral di dunia ini tidak habis. Pohon bisa ditanam lagi, kau tahu itu kan?”
“Ah, yang benar saja kau. Memangnya Dewi seperti itu ada?” tanya pria itu ragu.
“Inilah yang tidak kalian tahu. Memangnya kau pikir kenapa pembuat bangunan lain tidak pernah mengatakan dari mana mereka dapat ide-ide brilian mereka? Karena semua pembuat bangunan mendapat bimbingan langsung dari Dewi Hestia! Aku cukup bermurah hati untuk memberitahu orang awam sepertimu rahasia kami.”

Setelah mengetahui itu, pria tersebut mulai menyebarkan kabar itu ke warga-warga lain. Beberapa hari setelahnya, orang-orang mulai mendatangi menara kayu Sandra, beberapa dari mereka masih sangsi terhadap kabar soal Dewi Hestia yang Sandra katakan. Namun lama kelamaan, mereka mulai percaya dan mulai memuji menara kayu milik Sandra.

“Dewi itu pasti marah melihat para pembuat bangunan menghabiskan batu mineral yang ada di Bumi!” seru seorang kakek tua di antara kerumunan itu
“Iya! Dan siapa sangka, Dewi itu menyampaikan pesannya melalui orang yang paling tidak kita duga, Sandra si maniak kayu itu!” sahut si pria yang menyebarkan rahasia soal Dewi Hestia.
“Jika diperhatikan lagi, meski hanya kayu, bangunan ini terlihat megah juga ya.” sahut seorang pria lain di kerumunan itu.
“Bahkan menurutku penggunaan kayu di bangunan ini seperti menyegarkan mataku dari kilau-kilau batu mineral yang biasa digunakan pembuat bangunan lain!” tambah seorang wanita yang menatap menara kayu Sandra seperti hamba yang berhasil menggapai nirwana.

Setelah akhirnya puas dengan pujian orang-orang, Sandra pun kembali ke hutan untuk mengumpulkan kayu, siapa tahu ia mendapat inspirasi untuk bangunan baru. Di sana ia melihat seorang pria sedang menebang pohon dan memotong-motong kayu. Pria itu adalah Gema.

“Ah, kita bertemu lagi, Sandra.” sapa Gema.
“Kau juga membutuhkan kayu?” tanya Sandra tanpa membalas sapaan Gema.
“Ya, tentu saja. Batu-batu yang kukumpulkan saat itu kan hanya ornamen saja. Masa iya aku membuat satu bangunan hanya dengan tiga bahan itu?” jawab Gema sambil tertawa. Sandra pun ikut tertawa, dengan sedikit terpaksa.

“Kudengar bangunan barumu mulai disukai banyak orang, ya?” tanya Gema sambil memilah-milah papan kayu.
“Ya, begitulah.” jawab Sandra singkat.
“Kau dapat bimbingan dari Dewi Hestia lagi?”
“Ya, tentu saja. Seperti yang mungkin kau dengar dari orang-orang juga. Ah, iya, maaf jika aku memberitahu mereka soal itu. Aku pun sebenarnya tidak tahu kalau ini merupakan rahasia pembuat bangunan saja.”
“Tidak apa-apa. Mereka itu diberi tahu apa pun juga tidak ada gunanya, mereka semua otaknya dangkal.”
“Betul sekali.” jawab Sandra sambil sedikit tertawa, tawa yang tulus dari lubuk hatinya.
“Oh ya, dari mana kau dapat pesan dari Dewi Hestia untuk bangunan itu?” tanya Gema.
“E-eh, lewat mimpiku. Tepat setelah kita bertemu waktu itu.” jawab Sandra ragu-ragu.
“Oh ya? Seperti apa wujudnya?”
“Y-ya, begitulah, kau kan juga sudah tahu.” Sandra makin gelagapan menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.
“Aku? Tentu aku tidak tahu, Sandra.” jawab Gema sambil menaruh kapak dan gergajinya, dan berjalan mendekati Sandra.

“Tentu aku tidak tahu. Tapi yang jelas aku tahu, Dewi Hestia itu tidak ada, Sandra.” kata Gema sambil menatap mata Sandra.

Sandra pun terkejut dan gelagapan. Sebelum ia bisa berbicara, Gema menimpali ucapannya.

“Tak ada dewi-dewi seperti itu, Sandra. Kau ini benar-benar percaya semua pembuat bangunan mendapat ide dari makhluk khayangan?”
“T-tapi, lalu kenapa kau berbohong padaku?!” Sandra membalas Gema dengan kekesalan yang memuncak di dadanya.
“Karena aku sudah lama memerhatikanmu. Dan aku yakin, kau ini sebenarnya tidak pantas untuk jadi pembuat bangunan. Kau lihat bangunan-bangunan sampahmu itu!” nada bicara Gema mulai meninggi.
“Dengan kemampuan seperti itu, tak ada dewa-dewi atau Tuhan mana pun yang bisa menolongmu.” tambah Gema.

“Lalu dari mana kau dapat inspirasimu untuk membuat bangunan-bangunan megah itu?!” tanya Sandra sambil mulai sesegukan. Ia tak lagi kuat menahan air matanya.
“Dari mana? Tentu saja dari kepalaku sendiri. Aku terlahir untuk menjadi pembuat bangunan. Begitu pula semua pembuat bangunan di dunia ini, yang tidak sesampah dirimu.” jawab Gema sambil menatap Sandra yang terduduk di tanah hutan itu seperti ia sedang melihat kecoa yang baru saja ia injak.
“Keberhasilanku dan semua pembuat bangunan lainnya, juga kegagalanmu, semua itu tidak ada hubungannya dengan kuasa makhluk lain selain diri kita sendiri. Akui saja kau memang tidak terlahir untuk ini, Sandra. Dan sejujurnya, aku muak melihat gubuk-gubuk kayumu bertebaran di mana-mana. Mengotori pemandangan bangunan-bangunan indah yang sudah kami buat.” tambah Gema.

Sandra mengusap air matanya, dan kembali menatap Gema dengan pandangan yang masih kabur akibat air mata.

“Tapi aku membuat semua itu dengan usaha yang sama seperti kalian! Aku juga menebang pohon! Menggergaji kayu! Menancapkan pasak!”
“Lalu apa lagi?” potong Gema. Sandra terdiam.
“Hanya itu yang kau lakukan. Kami melakukan usaha yang berpuluh-puluh kali lipat lebih sulit darimu. Aku membuat bangunan baru karena muncul ide baru dari kepala dan jiwaku. Kau? Kau selalu buat gubuk kayu baru karena gubukmu tidak kuat menahan cuaca, kan? Berhentilah membohongi dirimu sendiri, Sandra.” jawab Gema.

Sandra kembali menangis dan tersungkur di tanah. Sementara Gema mulai menatap ke langit dan mengangkat telunjuknya.

“Dan kau! Kau! Aku tidak hanya bicara kepada gadis ini barusan. Kau! Apa pun yang kau lakukan sekarang, hentikanlah! Kau pikir kau bisa melampiaskan kegagalanmu pada gadis tidak bersalah ini, dan membuat orang-orang berbakat sepertiku terlihat seperti penjahat?! Bajingan. Kau pikir kalimat yang kau tulis itu membuat kekesalanmu terhadap diri sendiri menjadi tidak nyata? Kau persis seperti gadis ini, bahkan lebih hina. Mati sana!”

--

--

Iskandar
Iskandar

Written by Iskandar

"I'm not living, I'm just killing time."

No responses yet